Oleh : Misrawi
Presiden Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
Menimbang persoalan korupsi di Indonesia sungguh sangat menghawatirkan banyak orang, sehingga kadang-kadang hati selalu cendrung fasimisme melihat menjamurnya praktek korupsi, hampir setiap hari media dihiasi berita yang sangat skandal, hal ini dapat dibuktikan sejumlah mantan anggota DPRD sidoarjo periode 1999-2004 sebelas dewan yang terlibat tindak pidana korupsi anggaran sumber daya manusia (SDM). (Harian surya, Senin 12 Oktober 2009).
Negara yang disebut dengan “Panorama taman surga” yang kaya dengan sumber daya alamnya (SDA), bukan menjadi salah satu jaminan masyarakat akan makmur, kalau praktek korupsi masih mensporadis dibeberapa parlemen, di sisi lain ada yang merasa optimisme terhadap penegakan hukum di Indonesia, namun pada saat yang sama dilakukan oleh PERC (Political and Economic risk Consultance).
Persoalan korupsi di Indonesia bukan serta merta lemahnya administrasi, tapi juga persoalan mentalitas harus dipertanyakan secara totalitas, kita merasa bimbang! Bisakah Negara Indonesia bebas dan bersih dari praktek korupsi? Kita tak semudah mengatakan bisa, karna yang rentan dengan persoalan korupsi adalah orang-orang yang memegang kekuasaan. Logikanya siapa yang memegang kekuasaan itulah yang bisa mempermainkan hukum, karena hukum saat ini bukan salah satu kendaraan yang mencapai keadilan, keadilan adalah milik kita bersama yang seharusnya diwujudkan dalam rangka menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera, sehingga nantinya akan bersih dari peraktek-peraktek korupsi.
Ternyata keadilan di Negara Indonesia ini hanya milik segelintir Orang yang notabennya orang-orang yang menyandang predikat kekuasaan, itulah sebabnya keadilan di Negara Indonesia tak pernah bangkit dari keterpurukan, apa tidak malu pada Negara-negara tetangga kita saat ini gencar-gencarnya menata perekonomian, sedangkan kita masih enak-enakan tak pernah beranjak dari tempat duduknya, maka kiranya tidak terlalu berlebihan jika Negara Indonesia tak ubahnya “Tikus mati dalam Lumbung Padi”.
Prf. Dr. Ny. Komarian emong SH,MH, mengatakan bahwa korupsi sukar untuk diberantas, karena merupakan bagian dari budaya kita. Tapi penulis lebih sepakat bahwa korupsi merupkan bagian dari musuh bebuyutan kita, yang senantiasa harus diberantas dan diperangi, karena sekali korupsi maka akan mendorong semangat seterusnya untuk melakukan yang lebih buruk lagi, culas, tidak adil, dan jahat kepada sahabatnya, saudaranya dan sesamanya. Kejahatan korupsi tak ubahnya bola salju yang terus mengelinding kesana-kemari yang melahirkan bentuk-bentuk kejahatan kepada yang lainnya. ( Benny Susetyo, 2002:32).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kejahatan korupsi bukan serta merta lemahnya administrasi suatu birokras, tapi mentalitas itu sendiri harus di pertanyakan, namun di sisi lain kesimpulan ini mudah terbalik, bahwa kejahatan korupsi adanya kesempatan terbentunya pintu, karena lemahnya administrasi, seperti pepatah mengatakan lama mengatakan hampir dulang-ulang dalam tayangan TV swasta apa yang dikatakan oleh bang Napi, bahwa tindakan kejahatan bukan semata-mata adanya saat ini, namun juga adanya kesempatan untu mekelakukan kejahatan.
Kiranya dua hal ini yang sangat pundamental yang harus dikedepan dalam rangka untuk menciptakan Indonesia yang makmur dan bermartad yang bersih dari kejahatan korupsi , namun sebaliknya jika dua hal ini tidak berjalan secara peralel, kita jangan bermimpi Negara Indinesia akan bersih dari korupsi semoga para birokrasi mampu membenahi system administrasinya dan dan perbaiki mintalitas itu sendiri, sehingga akan terciptanya masyarakat makmur dan sejahtera.